Pandangan Masyarakat dan Tenaga Kesehatan Terhadap Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional

03.34


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan asuransi kesehatan sosial yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia dengan membayar iuran perbulan sesuai kesepakatan awal (UU SJSN no.40 tahun 2004). JKN diadakan untuk membantu tercapainya jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Sesuai dengan UU no.24 tahun 2011, Jaminan Sosial Nasional diadakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), di mana BPJS akan dibagi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Sehingga, JKN dalam penyelenggaraannya termasuk di dalam BPJS Kesehatan. Peraturan-peraturan yang membahas tentang implementasi JKN sudah dibentuk di dalam Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden no.12 tahun 2013 tentang JKN dan roadmap JKN, dan Peraturan Menteri yang mengatur pelayanan medis dan obat apa saja yang dicakup JKN.
Selama implementasi JKN, tentu saja masih banyak pro-kontra tentang sistem ini. Pro karena JKN dianggap masyarakat mampu memberikan solusi pelayanan kesehatan terutama yang dapat menelan biaya besar jika seseorang tidak mempunyai asuransi. Kontra pada JKN karena mungkin dari sisi upah dokter akan dipotong, tidak semua pelayanan medis dan beberapa obat dapat ditanggung JKN, premi asuransi yang hangus jika seseorang tidak sakit, dan lain-lain. 
Untuk itu, di postingan blog saya kali ini, saya akan membahas tentang isu-isu JKN yang saya dan teman-teman kelompok doktermuda stase Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) temukan di social media dan membahas bagaimana opini kami tentang permasalahan isu tersebut.


1. Obat Kosong Sehingga Pasien Membeli Obat Sendiri

Yth. BPJS Kesehatan KC Solok

Peserta dirawat di RSUD A tgl 27/12/16 dengan status Jamkesmas. Peserta mengeluarkan biaya obat dan alat medis seperti abocat, dexa, ketorolac, pronagel, vit. K, cefotaxime, aquades, dll sebesar Rp 230.000,- karena obat di RS kosong sehingga membeli di apotek pelengkap.

Mohon ditindaklanjuti, terimakasih.


Pembahasan:
Sistem JKN telah menetapkan (Permenkes 71/2013 bagian kelima pasal 23-27) bahwa: (1) Peserta berhak mendapat pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan sesuai dengan indikasi medis. (2) Daftar obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai dituangkan dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan. (3) Pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu komponen yang dibayarkan dalam paket Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s). (4) Alat Kesehatan yang tidak masuk dalam paket Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s) dibayar dengan klaim tersendiri dan ditetapkan oleh Menteri.
Dengan ketentuan itu, RS diharuskan menyediakan obat dan alkes sesuai ketetapan menteri. Regulasi JKN menyatakan bahwa pemberian obat dalam JKN harus mengacu pada Fornas.Dalam hal terdapat permintaan obat di luar Fornas, harus mendapat ijin dari Komite Medis dan Pimpinan Faskes (Permenkes 71/2013).Dalam regulasi berikutnya, adanya biaya tambahan karena obat di luar Fornas itu menjadi beban faskes itu sendiri dan tidak boleh dibebankan kepada peserta (Permenkes 28/2014).
Dengan adanya ketentuan tidak membolehkan Faskes untuk menarik biaya untuk obat-obat diluar Fornas, maka tidak dibenarkan Faskes menarik tambahan biaya baik karena obat yang tidak tersedia karena habis ataupun belum masuk dalam daftar Fornas. Namun perlu ditelusuri apa penyebab kekosongan obat, bagaimana tender E-katalog, apakah jumlah produksi dan rencana kebutuhan obat (RKO) sudah berimbah, bagaimana jalur distribusi dan pengadaan di Faskes tersebut, serta apakah pengendalian mutu dan biaya oleh Menkes telah berjalan lancar, yang salah satunya adalah penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan kesehatan lain yang selanjutnya direkomendasikan masuk dalam cakupan jaminan kesehatan.

2. Proses Rujukan yang 'Asal Tembak'

Sedikit kecewa, BPJS rujukan pengasinan tapi alamat saya di Cikarang.. kejauhan kalau mau berobat, sedang kita berobat pasti saat darurat kan, ga kebayang kalo kelamaan di jalan.. akhirnya tiap berobat pakai dana pribadi, belum pernah dipakai sama sekali tu bpjs.. kalo masih berobat di bidan or puskesmas its ok, lha klo udh di RS y jebol juga kantong.. buat apa bayar tiap bulan tp ga pernah di pake gara2 salah alamat rujukan.. harusnya perusahaan yang menyediakan tanya dulu ke tbs alamat rujukan mau di mana? jangan main tembak ssuai alamat ktp, coz domisili kita belum tentu ssuai ktp.. klo misal sy masih perantauan terus ktp saya masih kampus masa iya alamat rujukan di lampung... keburu melahirkan di jalan klo begitu.. katanya skrg lg diproses buat pindah rujukan, smoga ga makan waktu lama, karena orang sakit jg gatau kapan dtgnya.. dan semoga bpjs lebih baik pelayannya coz kemarin denger cerita g enak jg ttg pasien bpjs, masa syarat semakin byk tp pelayanan g maksimal.. #ceritarakyatyangmasihbutuhbpjs


Tanggapan:
Penentuan tempat pelayanan kesehatan primer sebenarnya bisa ditentukan sendiri oleh peserta BPJS. Namun, apabila saat melakukan registrasi atau pendaftaran JKN, peserta tidak menyebutkan dengan jelas lokasi faskes primer yang diinginkan, maka penentuan lokasi faskes primer akan secara otomatis masuk ke wilayah kerja faskes primer dengan merujuk dari lokasi tempat tinggal peserta yang tertera pada data diri peserta, yang dalam hal ini terdapat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Untuk peserta yang ternyata berpindah domisili atau ternyata tidak didapatkan kesesuaian antara alamat pada data diri dengan lokasi domisili saat ini sehingga menyusahkan peserta ketika akan mendapatkan pelayanan kesehatan, maka peserta yang bersangkutan diperbolehkan berpindah ke faskes primer lainnya dengan syarat peserta yang bersangkutan sudah terdaftar minimal selama 3 bulan. Peserta hanya perlu mengajukan perpindahan wilayah pelayanan faskes primer ke kantor BPJS. Setelah disetujui maka peserta BPJS sudah bisa langsung diterima berobat di faskes yang baru.
Menurut kami, untuk masalah seperti yang dijabarkan oleh peserta BPJS di atas, lebih berfokus pada sosialisasi atau informed consent yang lebih mendalam kepada calon peserta BPJS sebelum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS. BPJS sendiri sudah mengatur secara jelas tentang tata cara administrasi yang digunakan pada sistemnya, hanya saja tidak semua calon peserta BPJS mengetahui atau bahkan memahami terkait sistem tersebut. Sehingga akan lebih baik jika sebelum dilakukan proses pendaftaran, calon peserta diberikan edukasi atau informed consent secara menyeluruh terlebih dahulu seperti layaknya edukasi terhadap persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh seorang dokter kepada pasiennya.

3. Dokter Klinik Tidak Memeriksa Pasien dan RS Tidak Bisa Menerima Pasien yang Akan Opname

Berkali-kali saya kecewa dengan BPJS. Entah dari pelayanannya di klinik yang cara dokternya ga priksa ga diliat/ dipegang. Hanya ditanya2 sambil gak liat pasien.
Atau cara masuk RS yang prosesnya na'udzubillaah.. sulitttttnyaaaaaaa..... Klo tidak karena ibu yang minta untuk bayar BPJS, sudah aku putus dr dulu iurannya.
Waktu ibu disuruh sama dokter untuk opnam di salah satu RS, ternyata dari pihak RS tidak bisa menerima hari itu disuruh nunggu besok dan besok dan besok ga tau sampe kapan. sampa ak nyamperin ke pihak BPJSpun ga isa ngasih jawaban yang memuaskan... Akhirnya ambil jalan reguler/ berbayar..
Oh BPJS.... Aku kecewa ma kamu.
Kenapa BPJS tidak meberi rujukan ke DUKUN yang prosesnya gampang
Andaikan saja BPJS kui entok rujukan nang dukun...


Tanggapan:

Dalam menegakkan suatu diagnosis penyakit dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Ada beberapa penyakit tertentu yang bisa ditegakkan tanpa perlu pemeriksaan fisik atau cukup hanya dari anamnesis yang detail saja,  ada beberapa penyakit yang bisa ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan ada beberapa penyakit yang hanya bisa ditegakan dan dipastikan dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium klinik,radiologi dan sebagainya, Sehingga dalam hal ini diperlukan peranan dokter untuk memberikan penjelasan kepada pasien bahwa tidak semua diagnosis penyakit pasien mutlak ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Terkait kamar penuh atau harus mengantri kamar untuk rawat inap,  dirumah sakit sendiri penggunaan kamar dibagi-bagi untuk golongan infeksi/menulari dan non infeks maupun golongan golongan lainnya untuk kondisi penyakit tertentu. Jadi, seandainya per kamar ada 4 tempat tidur dan seorang pasienA menderita krisis hipertensi (tidak menular) yang sudah terisi penuh 4 orang, sementara kamar yang ada/tersedia adalah kamar  untuk infeksi maka ini akan di sampaikkan kamar penuh untuk penyakit pasien A (tapi sebenarnya ada kamar tapi bukan/tidak sesuai dengan kondisi penyakit pasien A). Hal seperti ini yang tidak diketahui masyarakat tentang arti kamar penuh dan petugas atau staf RS kadang kurang penjelasan. 
Selain itu, jika di rumah sakit swasta, setiap rumah sakit punya kebijakan kuota jumlah kamar, misalnya 30% untuk pasien BPJS, 70% untuk pasien umum (tiap rumah sakit berbeda MoU-nya).Ketika pasien mendaftar sebagai pasien BPJS, bisa jadi kuota kamar untuk pasien BPJS sudah habis, tapi kuota kamar untuk pasien umum masih tersedia.Kendati demikian, MoU disusun menjelang 2014.Beberapa rumah sakit swasta memang mematok kuota. Sedangkan pada 16 Juni 2014 telah terbit Permenkes No. 27 tahun 2014 yang menerangkan bahwa rumah sakit tidak boleh membatasi jumlah tempat tidur yang tersedia untuk peserta JKN.Jadi, seharusnya di tahun ini MoU sudah tidak boleh lagi karena dalam skema JKN semua diberlakukan sama dengan regulasi dari Permenkes karena pesertanya adalah semua warga negara Indonesia.
Namun di sisi lain, masih ada separuh penduduk lagi yang menggunakan jalur umum. Artinya mereka juga harus diberi kamar bila membutuhkan perawatan.Sedangkan rumah sakit milik pemerintah memang wajar kalau sering penuh karena pasien makin membludak tapi kamar tidak bertambah, bahkan pasien-pasien di IGD juga harus antri berhari-hari untuk dapat kamar, untungnya pasien IGD selalu diprioritaskan oleh dokter untuk dapat kamar. Hal seperti itu memang terjadi dimana mana dan sebaiknya menjadi catatan pemerintah dalam mengelola program BPJS Kesehatan. 


4. Tidak Semua Obat Dicover

Obat Tak Dicover BPJS, Warga Miskin Kota Serang Penderita Kanker Payudara Pasrah
Ny. S (24), penderita kanker payudara warga Penancangan Pasir, Kota Serang, Provinsi Banten, pasrah lantaran BPJS tak mengcover seluruh obat yang dibutuhkan. apalagi obat yang tak dicover tersebut terhintung sangat mahal bagi suami Ny. S, Bp. D (28), yang bekerja serabutan.
Saat ini, Ny. S dirawat di RS S Tangerang, sejak bulan Juli 2016 lalu. sebelumnya dirawat di RS D Serang, namun lantaran RS D tak mampu menangani akhirnya dirujuk ke RS Siloam.
"BPJSnya kelas tiga, obat yang tidak dicover untuk istri saya seperti Albumen. Yang harga perbotolnya Rp2.376.000,-. Sementara untuk bulan ini saja, istri saya membutuhkan 6 botol albumen," kata Bp. D kepada FBn, Selasa (25/10/16).
Hingga saat ini, jangankan memberikan bantuan, menjengukpun dari Pemkot Serang tidak. pernah satu kali dapat bantuan dari pemprov Banten sebesar 5juta. Namun itu sudah habis, ketika awal masuk RS S.


Tanggapan:

Dalam kepesertaan BPJS, digunakan prinsip gotong royong. Dimana dalam hal ini, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan BPJS bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu.Dengan digunakannya prinsip ini pada BPJS, maka pada hakekatnya BPJS hanya mampu membiayai peserta BPJS dalam hal pengobatan yang masih termasuk dalam standar pelayanan kesehatan. Mulai dari fasilitas kesehatan yang didapatkan, alat kesehatan yang digunakan sampai dengan obat-obatan terstandar yang akan didapatkan oleh pasien peserta BPJS. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian yang bisa saja dialami oleh BPJS sebagai akibat dari tingginya kebutuhan biaya kesehatan dari masing-masing peserta BPJS yang tidak bisa ditutupi oleh premi yang dibayarkan baik oleh peserta tersebut sendiri maupun oleh peserta BPJS lainnya.
Dalam contoh keluhan seperti di atas, dikatakan bahwa peserta BPJS dengan kanker payudara tidak mendapatkan bantuan biaya untuk pengobatan yang menggunakan albumin. Sementara dalam formularium nasional (fornas) terkait obat-obatan yang dapat dibiayai oleh BPJS, disebutkan bahwa daftar obat-obatan untuk kanker payudara yang mendapatkan bantuan pembiayaan dari BPJS adalah sebagai berikut: goserelin asetat, eksemestan, letrozol, tamoksifen, dosetaksel injeksi, fluorourasil injeksi, gemsitabin injeksi, lapatinib, kapesitabin, metotreksat injeksi, siklofosfamid, dan trastuzumab.
Sementara untuk albumin seperti yang dikeluhkan oleh peserta di atas, di dalam fornas yang mendapatkan tanggungan pembiayaan dari BPJS hanya untuk peserta dengan luka bakar tingkat 2 (luas permukaan terbakar lebih dari 30%) dan kadar albumin < 3gr/dl ; untuk peserta dengan plasmaferesis ; untuk peserta bayi dan anak dengan kadar albumin < 3gr/dl dan / atau untuk kasus perioperatif, dan / atau untuk sindrom nefrotik serta hanya diberikan apabila terdapat kondisi pre syok atau syok, dan / atau untuk kasus ascites yang masif/intens dengan penekanan organ pernafasan atau perut. Sehingga jika dilihat berdasarkan tinjauan fornas di atas, maka pada kasus kanker payudara seperti yang dikeluhkan tidak mendapatkan bantuan pembiayaan albumin dari BPJS. Sehingga untuk kasus seperti di atas solusi yang bisa diberikan adalah dengan pemberian edukasi terlebih dahulu kepada pasien sebagai peserta BPJS dan juga keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai prinsip kerja yang digunakan oleh BPJS, serta mekanisme pembiayaan kesehatan yang dilakukan, yang berdampak pada tidak dapat ditanggungnya semua biaya pengobatan pada peserta BPJS tersebut. Dapat juga disarankan bagi peserta yang kurang mampu atau kekurangan biaya selama pengobatan, untuk mencari bantuan tambahan kepada lembaga – lembaga bantuan kanker ataupun kepada pemerintah setempat.


5. Cover Obat Hanya 'Setengah-setengah'

Sebelum pake BPJS ane pake Jamkesda, gan
Semua obat dicover karena kalo bayar sendiri bisa 5jt/bln
Januari februari maret pas bpjs keluar obat ane masih dicover paling cuma 1 macem obat dan itu murah jd da masalah
eh pas kemarin kontrol obat ane yang sidenafil udah g dicover katanya ganti doner, pas ane tanya dokternya dia bilang emang semenjak april sidenafil udah g dicover dan dganti doner.. padahal pas awal ane berobat 2th lalu dokternya ngomong di RS ini udah g pake doner pakenya sidenafil.
kalo agan tau sidenafil ane buat sebulan itu harganya bisa 4jt+++ dari mana ane duit segitu
emang sih prosedurnya paling gampang dibanding jaminan kesehatan lain tapi kalo covernya cuma setengah2 sama aja gan
buat pejabat BPJS tolonglah untuk pasien2 yang penyakitnya rada ribet kaya ane jangan dipersulit


Tanggapan:
Secara umum BPJS akan menanggung obat–obat yang telah diresepkan oleh Dokter jika pasienmemenuhi perosedur dan ketentuan yang berlaku. Namun tidak semua jenis obat yang diresepkan doktertidak sepenuhnya diberikan  oleh rumah sakit dengan alasan obat tidak ditanggung BPJS.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasionalbab IV tentang pelayanan kesehatan menjelaskan bahwa pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu pada daftar obat yang tercantum dalam Fornas dan harga obat yang tercantum dalam e-katalog obat. Apabila jenis obat yang tidak tersedia di dalam Formularium Nasional dan harganya tidak terdapat dalam e-katalog, maka pengadaannya dapat menggunakan mekanisme pengadaan yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Obat-obatan yang belum masuk dalam list Fornas bisa dikarenakan obat tersebut untuk penyakit yang langka atau karena sudah ada obat lain dengan formula sejenis. Salah satu contoh obat yang tidak termasuk dalam Fornas adalah sildenafil. Obat tersebut digunakan untuk mengobati hipertensi paru yang terkenal mahal karena hipertensi paru adalah penyakit yang masih langka, bersifat kronis dan harus dikontrol dengan minum obat teratur seumur hidup. Obat-obatan yang masuk di Indonesia baru 3 jenis yaitu dorner (beraprost), viagra (sildenafil) dan ventavis (iloprost). Tetapi sampai dengan saat ini baru 1 jenis obat yaitu Dorner yang masuk dalam fornas atau dapat dicover BPJS.
Masalah pembiayaan yang dicover oleh BPJS sudah diatur dalam PMK No 59 tahun 2014 tentang standar tarif Jaminan Kesehatan Nasional atau sistem tarif INA CBG’s. Sehingga semua biaya yang termasuk dalam paket INA CBG’s tidak dibebankan pada pasien.
Kasus di atas menunjukkan bahwa masih kurangnya informasi tentang obat-obatan yang dapat ditanggung oleh BPJS. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi lebih dari pihak BPJS dan tenaga medis kepada pasien tentang obat-obat apa saja yang memang sudah termasuk dalam list Fornas, serta menjelaskan bagaimana proses suatu obat dapat didaftarkan dalam list Fornas yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/524/2015 dengan bahasa yang mudah dimengerti. Sehingga diharapkan tidak ada kesalahpahaman dan mencegah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dalam penggunaan fasilitas BPJS.

6. Pasien Diberi Obat tanpa Diperiksa dan Tidak Dirujuk

Kecewa ama BPJS.. suamiku dah mau pingsan minta rujukan gak d kasih.. dikasih obat tanpa diperiksa.. pdhl kita tiap bulan bayar.. saya ambil no1 biar fasilitasnya lebih dr no2 no3.. masa kalah ama puskesmas pelayanannya.. saya jadi mikir apa masih saya mau bergabung dengan BPJS?????


Tanggapan:
Masyarakat perlu lebih disosialisasikan mengenai tahap tahap prosedur pelayanan BPJS yang dimulai dari pelayanan kesehatan tahap 1 (dokter keluarga / puskesmas) baru sesuai prosedur dapat dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. Namunterdapat pengecualian dalam hal emergency. Apabila dalam keadaan emergency atau keadaan umum pasien memburuk dapat segera dibawa ke instalasi gawat darurat. Pihak pelayanan kesehatan sebaiknya dapat lebih tanggap dalam menangani pasien yang dalam keadaan gawat maupun darurat supaya dapat memberikan pertolongan pertama terlebih dahulu kepada pasien yang memang membutuhkan.
Terhadap pasien yang diberi obat tanpa diperiksa, mungkin perlu lebih diperjelas apakah benar tidak diperiksa sama sekali.Dalam menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga  untuk memberikan obat atau tatalaksana yang tepat diperlukan tahap anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai.

7. Perpanjangan Surat Rujukan

Surat rujukan bisa diperpanjang tidak? Saya dpt surat rujukan dr rs setempat ke RS xxxx untuk kemoterapi, tp prosesnya lama mlh surat rujuk sdh hampir habis tp msh blm jls kapan kemo nya?


Tanggapan:
Surat rujukan pada dasarnya tidak berumur.Umurnya sesuai dengan perkembangan klinis dan kebutuhan pelayanan medis bagi pasien.Selama RS tempat rujukan menyatakan masih tetap perlu dalam perawatan, maka berarti masih kembali ke RS yang bersangkutan.Sampai nanti ada Surat bahwa Pasien sudah dapat dirujuk kembali ke PPK 1, maka itu artinya kembali ke PPK 1.
Meski demikian, agar tetap ada pemantuan dari PPK1 terhadap pelayanan kesehatan peserta dalam cakupan kapitasinya, maka tiap 3 bulan diharapkan ada surat dari PPK2 atau 3 (RS tempatnya dilayani) kepada PPK 1 yang menyatakan bahwa pasien masih dalam perawatan atau suda bisa dirujuk kembali ke PPK1.
Jadi terhadap pertanyaan di atas, kuncinya pada bagaimana pernyataan dari RS tempat mendapat pelayanan: apakah masih harus terus atau dirujuk balik. Bila ini karena proses kemoterapi, maka selama berkaitan dengan layanan kemoterapi tersebut, tidak perlu rujukan lagi sampai proses kemoterapinya dinyatakan selesai. Selanjutnya, bisa tetap ke RS yang bersangkutan, atau dirujuk kembali ke PPK1, sesuai pernyataan dari RS yang bersangkutan.

8. Pemeriksaan CT Scan tidak Dicover

Barusan nemenin eyangnya anak2 nonton serial TV kesukaannya: Jang Geum. cerita ttg tabib wanita belia yang amat cermat salam melakukan pemeriksaan fisik hingga mendengar sesuatu yang tak didengar seniornya, nadi San. denyut nadi yang ringan bagai kayu, namun teraba cepat.Berdasarkan pemeriksaannya yang lalu dianalisis bersama tim tabib istana akhirnya ditegakkan diagnosis intra uterine feal death. semuanya hanya berdasarkan pemeriksaan fisik terutama denyut nadi pasien. tanpa USG atau fonografi.Cocok nih buat era BPJS. paket hemar BPJS ketika pemeriksaan CT scan untuk menegakkan diagnosis stroke tak dicover karena katanya cukup dilakukan pemeriksaan dg lampu senter. hehe. selamat kembali ke era Jang Geum, era terapi tradisional China.


Tanggapan:
Prosedur pemeriksaan radiologis seperti rontgen, CT-scan atau MRI merupakan pemeriksaan tambahan yang dilakukan dokter untuk mendukung penegakan diagnosis yang sebelumnya telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. BPJS kesehatan dapat meng-cover biaya CT-scan kepala apabila sudah jelas indikasi klinis yang ditetapkan oleh dokter sebagai bentuk penanganan penyakit/kondisi peserta (bukan atas keinginan pasien sendiri), serta peserta harus mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku.Peserta harus membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 ke fasilitas kesehatan tingkat 2. Di fasilitas kesehatan tingkat 2, pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS mencakup pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis, tindakan medis dan  pelayanan penunjang diagnostik lanjutan yang sesuai indikasi medis, contohnya CT-Scan sebagai gold standar penegakan diagnosis stroke.
Besar biaya pemeriksaan CT-scan dan MRI cukup mahal. Jika menggunakan biaya mandiri, besar biaya pemeriksaan CT-scan sekitar 800 ribu hingga1,2 juta rupiah, sedangkan MRI dapat berkisar 4-5 juta rupiah.Pihak BPJS sendiri memiliki standarisasi biaya yang dijaminkan sesuai INACBGs, di mana besar biaya yang dijaminkan tersebut tentunya bergantung pada kelas atau tipe rumah sakit. Jika rumah sakit tipe A, maka biaya yang dijaminkan lebih besar daripada rumah sakit tipe B dan C.

Terkait dengan pernyataan dokter di atas yang menyebutkan BPJS tidak mengcover CT-scan untuk diagnosis stroke, hal ini bisa disebabkan pemahaman yang kurang mengenai jenis-jenis pemeriksaan yang dicover BPJS dan yang tidak dicover BPJS. Ketidakpahaman tersebut dapat diatasi dengan pemberian sosialisasi yang lebih mendalam terhadap seluruh tenaga medis dan pihak rumah sakit.

9. Pemeriksaan Laboratoris Widal tidak Dicover

Cerita JKN-BPJS part 2 :)Sore hari setelah visite pasien:Dokter: mbak, mas C udah demam 4hari gitu, besok dicek lab darah rutin sama tes widal (untuk diagnosis typhoid) ya...Perawat: ngapunten dok, kalo pasien BPJS tes widal g masuk yg ditanggung, dok..Dokter: hah? trus klo beliau kena typhoid atau demam dengue aku bisa diagnosis dari mana, mbak? kan idealnya lewat lab, mbak :(Perawat: *mukabingung* hehe iya, dok. memang begitu..Dokter: oh iya, mba.. besok dimotivasi aja ya untuk bea mandiri.. tadi aku ajak ngobrol juga pasiennya minta dicek lab.. insyaAllah ga sulit..Perawat: hehe iya, dok.. sejak BPJS ini harus belajar ngirit ya, dok.. kalo ngga bisa rugi bandar!
Konklusi:Nah, jadi penyakit macam tifoid, malaria, leptospirosis itu g boleh dirujuk dari faskes tungkat I seperti klinik mandiri, praktek dokter umum, dsbnya ke faskes tingkat II macam RSUD. Tapi lucunya, untuk pemeriksaan labnya supaya diagnosisnya tegak itu biayanya ga ditanggung sama BPJS. nah loh, trus dokternya bisa diagnosis pasti dari mana?#dilemaBPJS


Tanggapan:
Masyarakat dan klinisi perlu disosialisasikan mengenai tahap tahap prosedur pelayanan BPJS yang dimulai dari pelayanan kesehatan tahap 1 (dokter keluarga / puskesmas) sampai ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. Bagaimana sistem rujukan, keadaan-keadaan apa saja yang dapat dilakukan rujukan, dan pemeriksaan apa saja yang masuk kedalam BPJS sehingga tidak terjadi miskomunikasi antara pelayan kesehatan terhadap masyarakat.
Dalam kasus observasi febris yang akan dilakukan rujukan ke sistem pelayanan kesehatan tingkat dua, diagnosis perlu ditegakkan terlebih dahulu menggunakan pemeriksaan penunjang untuk selanjutnya dapat dirujuk ke sistem pelayanan kesehatan tingkat dua. Untuk menegakkan diagnosis bagi pasien yang menggunakan bpjs dan penegakan diagnosis tersebut tidak masuk dalam cakupan BPJS, maka diperlukan edukasi terhadap pasien bahwa pasien memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan biaya mandiri. Apabila pasien tidak bersedia, klinisi dapat memberikan terapi medika mentosa yang mengarah pada diagnosa sementara pasien berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti diberikannya antibiotik spektrum luas dan terapi simtomatis dengan persetujuan dan edukasi terhadap pasien dan keluarganya terlebih dahulu.

10. RS Menolak Pasien Melahirkan yang Menggunakan Kartu BPJS

Kawan-kawan se KASKUS yang saya hormati, saya butuh info, pendapat, dll.

Minggu lalu istri syaa melahirkan, sekitar jam 6sore saya bawa ke RS yang bekerjasama dengan BPJS, tapi ditolak oleh dokter UGD dan disuruh  membawa istri ke puskesmas, disuruh nglairin di puskemas, kecuali tidak bisa ditangani di puskesmas bisa ambil rujukan dan kembali ke rs, karena istri sudah kesakitan saya takut juga membawanya ke puskesmas, jadi istri tetap tinggal di rs dan dengan biaya sendiri tnpa BPJS.
Saya sempat tanya ke dokter dan petugas, kan saya bayar iutan bulanan di BPJS untuk kelas II sedangkan di puskesmas tidka ada pelayanan per kelas
banyak dari pertanyaan saya yang tidak bisa dijawab oleh petugas dan dokter.
Keesokan harinya saya ke petugas BPJS yang ditempatkan di RS, dan disuruh mengambil Surat Rujukan di UGD RS tersebut, tapi petugas tidak mau memberikan rujukan.
Saat ini saya sedang berencana untuk membuat laporan, mohon bantuan pendapat dan informasinya
Terimakasih

Saya peserta BPJS dengan beban iuran untuk kelas II, sebelumnya adalah peserta Jamsostek. 

Menurut kalian gmn? apakah syaa yang salah mengerti tentang BPJS atau siapa yang salah?


Tanggapan:
Kasus persalinan normal adalah kasus umum, bisa ditangani oleh dokter umum maupun bidan. Sehingga kasus persalinan dianggap dapat tertangani dengan baik jika dilakukan di Pemberi Pelayanan Kesehatan tingkat I (PPK I), sementara rumah sakit hanya akan diperuntukkan bagi kasus-kasus khusus/spesial, misalnya persalinan dengan penyulit yang tidak bisa ditangani di PPK I atau Puskesmas.
Permenkes RI Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional menjelaskan mengenai hak dan kewajiban peserta BPJS. Untuk menjelaskan kasus yang dialami di atas, dapat mengacu pada pasal 18 tentang layanan di PPK I dan pasal 20 tentang layanan di PPK II.
Pasal 18 menyatakan bahwa kasus persalinan normal adalah kasus yang bisa ditanganisecara paripurna di PPKI, sehingga jika tidak ada penyulit/indikasi yang menyebabkan pasien tidak bisa melakukan persalinan normal maka tidak memenuhi kepentingan untuk dibuat rujukan ke PPK II.
Pasal 20 menyatakan tentang pelayanan khusus di PPK II (lanjutan), sehingga kasus persalinan normal, yang mana tidak termasuk kasus khusus, tidak ditangani di PPK II. Ini yang menjadi dasar hukum bagi rumah sakit untuk menolak pasien menggunakan layanan BPJS Kesehatan untuk melahirkan secara normal di rumah sakit.Jika pasien pemegang kartu BPJS Kesehatan ingin melahirkan secara normal di rumah sakit, hal tersebut bisa dilakukan namun tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, artinya pasien menanggung biayanya sendiri.
Sementara untuk masalah pelayanan per kelas, hal ini dimaksudkan untuk pelayanan rawat inap. Jika pasien rawat inap di Rumah Sakit, maka kamar rawat inap akan disesuaikan dengan kelas BPJS yang dimiliki, jika di puskesmas maka sesuai dengan pelayanan rawat inap yang disediakan oleh puskesmas.
Kasus di atas menunjukkan masih kurangnya informasi yang jelas mengenai BPJS. Dari pihak penyelenggara, sebaiknya sosialisasi tentang BPJS terus dilakukan, bisa melalui lembaga-lembaga formal ataupun melalui media massa dengan bahasa yang mudah dimengerti. Peraturan-peraturan yang tertulis di dalam Permenkes mungkin masih susah dipahami oleh masyarakat awam, dengan adanya sosialisasi akan lebih mudah untuk menjelaskan peraturan-peraturan tersebut. Kemudian dari pihak pengguna BPJS, masyarakat sebaiknya juga lebih aktif mencari informasi, bisa dengan mencari melalui media atau bertanya langsung ke bagian yang terkait.
Sosialisasi BPJS ini penting tidak hanya bagi masyarakat namun juga kepada tenaga kesehatan khususnya bagian administratif, sehingga ketika ada kejadian seperti kasus di atas pihak fasilitas kesehatan bisa memberi penjelasan mengenai alur BPJS dan alasan atas tindakan yang dilakukan fasilitas kesehatan tersebut.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe